![]() |
Dr (C) Eko Saputra, S.H., M.H., |
NARASIWARTA.COM – Menyikapi pemberitaan yang menyoroti status “Proper Ditangguhkan” terhadap PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Regional 1 Cabang Dumai atau Pelindo Dumai, praktisi hukum di Kota Dumai menilai bahwa kesimpulan adanya pencemaran lingkungan oleh Pelindo masih terlalu dini dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut Dr (C) Eko Saputra, S.H., M.H., praktisi hukum dan pengamat hukum lingkungan di Riau, status Proper Ditangguhkan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak serta-merta dapat ditafsirkan sebagai bukti adanya pelanggaran hukum atau tindak pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan.
“Kita perlu meluruskan pemahaman publik bahwa status Proper Ditangguhkan bukanlah sanksi pidana atau administratif yang membuktikan Pelindo bersalah. Status itu hanya menunjukkan bahwa ada proses klarifikasi atau verifikasi lebih lanjut terhadap dokumen dan kinerja lingkungan perusahaan,” ujar Eko kepada wartawan, Minggu (19/10/2025).
Ia menjelaskan, dalam kerangka hukum nasional, dugaan pencemaran lingkungan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum apabila telah memenuhi unsur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf e dan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Artinya, harus ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kegiatan suatu perusahaan telah menimbulkan pencemaran yang melampaui baku mutu lingkungan yang ditetapkan pemerintah,” jelasnya.
Eko menegaskan, hingga saat ini tidak ada laporan resmi maupun hasil uji laboratorium dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang menyebut Pelindo Dumai melanggar baku mutu udara, air, atau limbah. Karena itu, dari sisi hukum pembuktian, tuduhan pencemaran belum dapat dibenarkan.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan istilah “bukti adanya pencemaran” dalam pemberitaan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan preseden negatif dan berpotensi mencemarkan nama baik perusahaan.
“Kita menghormati peran pers sebagai pilar demokrasi, namun perlu juga menjaga asas praduga tak bersalah. Tanpa data ilmiah yang sah, pemberitaan semacam itu bisa masuk kategori trial by media,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eko menilai bahwa Pelindo Dumai sejatinya merupakan objek pengawasan reguler dalam sistem Proper KLHK. Penangguhan peringkat bisa disebabkan oleh faktor administratif seperti keterlambatan pelaporan, pembaruan dokumen, atau peralihan sistem operasional, bukan semata-mata akibat pelanggaran lingkungan.
“Dalam banyak kasus, status Proper Ditangguhkan bersifat sementara sampai verifikasi lengkap dilakukan oleh KLHK. Jadi, tidak bisa langsung diasumsikan sebagai pelanggaran,” tambahnya.
Eko juga mendorong KLHK dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Dumai untuk membuka data secara transparan agar masyarakat memperoleh informasi yang objektif dan tidak menimbulkan spekulasi.
“Prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 harus dijalankan. Kalau memang ada catatan atau temuan, sampaikan secara resmi,” ujarnya.
Dari perspektif hukum administrasi lingkungan, Eko menjelaskan bahwa Proper merupakan instrumen evaluasi non-penal yang bersifat pembinaan. Dengan demikian, status “Ditangguhkan” belum tentu menunjukkan adanya pelanggaran hukum lingkungan.
“Penyelesaian isu ini idealnya dilakukan melalui mekanisme verifikasi faktual dan audit lingkungan, bukan melalui opini publik semata,” tutupnya. (rls/red)
0 Komentar